Sungai Deli, Nadi Lama yang Mengalirkan Sejarah Kota Medan


Di balik deru kendaraan dan hiruk pikuk Kota Medan hari ini, ada sebuah sungai tua yang masih setia mengalir. Sungai Deli, sepanjang sekitar 70 kilometer, bukan sekadar aliran air yang membelah kota, melainkan juga jalur sejarah. Dari tepian sungai inilah, Medan yang dulu hanyalah sebuah kampung kecil bernama Medan Putri, tumbuh menjadi kota multikultural yang kita kenal sekarang.

Dari Kerajaan Melayu ke Kota Modern

Sejarah Sungai Deli erat kaitannya dengan Kesultanan Deli. Pada abad ke-17, Sultan Deli menjadikan sungai ini sebagai pusat kehidupan kerajaan. Sungai bukan hanya sumber air, tetapi juga jalur lalu lintas utama. Perahu-perahu kecil mengangkut hasil bumi dari pedalaman ke hilir, menghubungkan Deli dengan Selat Malaka.

Tak jauh dari tepi Sungai Deli berdiri dua bangunan bersejarah: Masjid Raya Al Mashun dan Istana Maimun. Kedua simbol kejayaan Kesultanan Deli ini menjadi saksi bagaimana sungai berperan penting bagi perkembangan kota. Air Sungai Deli dahulu dipakai masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari, bahkan menjadi ruang sosial tempat warga berinteraksi.

Sungai Tembakau Emas

Masa kejayaan Sungai Deli mencapai puncaknya pada abad ke-19, ketika Belanda membuka perkebunan tembakau di tanah Deli. Tembakau Deli, yang terkenal halus dan digunakan untuk cerutu kelas dunia, diangkut melalui sungai ini sebelum dibawa ke pelabuhan Belawan.

“Deli tak bisa dilepaskan dari tembakau. Dan tembakau tak bisa dilepaskan dari sungai ini,” tutur Prof. Ichwan Azhari, sejarawan Medan, dalam sebuah diskusi kebudayaan.

Saat itu, Sungai Deli menjadi urat nadi ekonomi. Dermaga-dermaga kecil bermunculan di sepanjang aliran, menghubungkan perkebunan dengan kota. Bersamaan dengan itu, ribuan pekerja kontrak dari Jawa, India, dan Tiongkok didatangkan. Sungai Deli pun menyaksikan lahirnya masyarakat multietnis Medan.

Sungai dalam Kehidupan Sehari-hari

Lebih dari sekadar jalur perdagangan, Sungai Deli dulu adalah ruang kehidupan. Anak-anak Melayu mandi di airnya, perempuan mencuci pakaian sambil bercengkerama di tepiannya, dan lelaki memancing ikan di sela aliran arus. Sungai adalah tempat bermain, bekerja, sekaligus beristirahat.

Kawasan Kesawan, yang menjadi pusat niaga kota, juga tak lepas dari peran Sungai Deli. Para pedagang Tionghoa membuka toko di tepi sungai, sementara kapal-kapal kecil hilir mudik membawa barang dagangan. Kehidupan kota berdenyut bersama arus air.

Dari Sungai Kehidupan Menjadi Sungai Keruh

Namun wajah Sungai Deli mulai berubah seiring waktu. Pertumbuhan kota yang pesat membuat bantaran sungai dipadati bangunan, sementara limbah rumah tangga dan sampah plastik mengalir tanpa henti ke dalamnya.

“Dulu kami mandi di sungai ini setiap sore. Sekarang? Mana berani,” ujar Pak Ramli (65), warga lama Medan yang ditemui di kawasan Kampung Aur. “Airnya sudah hitam, sampah di mana-mana.”

Fungsi sosial Sungai Deli perlahan hilang, digantikan oleh masalah banjir dan pencemaran. Sungai yang dulu jernih kini menjadi simbol ironi pembangunan.

Jejak Sejarah yang Tak Pernah Hilang

Meski kondisinya memprihatinkan, Sungai Deli tetaplah aliran yang membawa sejarah panjang. Ia adalah saksi lahirnya Medan: dari sebuah kampung kecil di tepi sungai, menjadi pusat kerajaan, lalu kota perkebunan tembakau, hingga metropolis modern.

Spot-spot bersejarah di sepanjang alirannya - Istana Maimun, Masjid Raya, Kesawan, hingga dermaga-dermaga tua yang kini nyaris terlupakan -masih berdiri, mengingatkan bahwa sungai ini pernah menjadi nadi utama kota.

“Kalau ingin memahami Medan, pahami dulu Sungai Deli,” kata seorang budayawan lokal. “Sungai ini bukan hanya air, ia adalah ingatan kolektif masyarakatnya.”

Hari ini, Sungai Deli mungkin keruh, tapi sejarah yang mengalir bersamanya tetap jernih. Sungai itu mengajarkan bahwa kota besar tak lahir begitu saja; ia dibentuk oleh air, tanah, dan manusia yang berjuang di tepinya.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama