Tjong A Fie: Sang Filantropis yang Membawa Harmoni


Di jantung Kesawan, kawasan tua yang dulu menjadi pusat perdagangan di Medan, berdiri sebuah rumah besar bergaya campuran Tiongkok, Melayu, dan Eropa. Pintu kayu yang megah, jendela-jendela berornamen, serta halaman luas yang terasa teduh. Rumah itu milik seorang pria yang namanya masih harum hingga kini - Tjong A Fie.

Seorang pedagang yang sukses, seorang pemimpin komunitas, tetapi lebih dari itu, seorang tokoh yang mengajarkan arti keberagaman dan filantropi di tanah Deli.

Dari Guangdong ke Deli: Awal Sebuah Perjalanan

Tahun 1877, seorang remaja berusia 17 tahun menjejakkan kakinya di tanah Deli. Namanya Tjong Fung Nam, kelak lebih dikenal sebagai Tjong A Fie. Ia berasal dari Meixian, Guangdong, Tiongkok. Ia bukan datang dengan harta, melainkan dengan tekad.

Medan kala itu adalah kota yang sedang tumbuh, dikenal dunia karena tembakaunya yang harum dan berkualitas tinggi. Namun di balik kejayaan itu, terdapat ketimpangan sosial: kaum pekerja kasar yang datang dari Tiongkok, India, dan Jawa, hidup dalam keterbatasan.

Tjong A Fie memulai dari nol. Ia bekerja di toko milik saudaranya, Tjong Yong Hian. Dari situlah ia belajar berdagang, membangun jaringan, dan memahami denyut ekonomi Deli. Berkat kerja keras, kecerdikan, dan kejujuran, ia perlahan naik menjadi pengusaha yang disegani.

Saudagar Besar, Sahabat Semua Golongan

Keberuntungan dan kepiawaiannya membuat bisnis Tjong A Fie berkembang pesat. Ia merambah perdagangan, perkebunan, hingga perbankan. Ia bahkan dipercaya memimpin Deli Bank, salah satu bank pertama di Sumatera Timur.

Namun, yang membuatnya istimewa bukan hanya kekayaan, melainkan kemampuannya menjalin persahabatan lintas etnis. Ia dekat dengan Sultan Deli, Ma’mun Al Rashid, dihormati oleh komunitas Melayu, dipercaya oleh Belanda, serta menjadi pelindung komunitas Tionghoa.

Pemerintah kolonial Belanda kemudian menunjuknya sebagai “Mayor Cina”, pemimpin resmi komunitas Tionghoa di Medan. Dalam posisinya itu, Tjong A Fie sering menjadi jembatan antara pemerintah, kaum pribumi, dan etnis Tionghoa.

Jejak Filantropi: Kekayaan untuk Sesama

Di balik kebesaran bisnisnya, Tjong A Fie memiliki satu keyakinan: “Kalau kau ingin bahagia, bahagiakanlah orang lain.”

Keyakinan itu ia wujudkan dalam berbagai bentuk. Ia membangun sekolah untuk anak-anak Tionghoa dan pribumi, mendirikan rumah sakit, membantu pembangunan masjid, gereja, hingga kuil. Ia ingin semua orang, tanpa memandang asal-usul, bisa merasakan manfaat dari kekayaannya.

Salah satu warisannya yang paling dikenal adalah Rumah Sakit Tjong A Fie. Saat itu, akses kesehatan masih sangat terbatas, apalagi bagi masyarakat kecil. Rumah sakit ini menjadi penyelamat, tempat orang miskin bisa berobat tanpa diskriminasi.

Tak hanya itu, ia juga membantu pembangunan Masjid Raya Al-Mashun dan Gereja Katolik Medan. Sebuah bukti bahwa baginya, keberagaman bukanlah sekat, melainkan jembatan untuk saling menguatkan.

Detik-Detik Kepergian

Pada 4 Februari 1921, Tjong A Fie menghembuskan napas terakhirnya di usia 61 tahun. Kabar kematiannya menyebar cepat, membuat Medan berduka.

Hari pemakamannya menjadi saksi persatuan yang jarang terjadi: ribuan orang dari berbagai etnis, agama, dan lapisan masyarakat mengiringinya ke peristirahatan terakhir. Sultan, pejabat kolonial, pekerja perkebunan, hingga pedagang kecil—semuanya datang.

Kepergian Tjong A Fie seakan meninggalkan pesan: ia mungkin wafat, tetapi jejak kebaikannya akan terus hidup.


Warisan yang Abadi

Kini, seratus tahun lebih setelah kepergiannya, nama Tjong A Fie masih terpatri dalam ingatan warga Medan. Rumah besarnya di Kesawan dijadikan museum, menyimpan kenangan tentang seorang pria yang mengubah wajah kota ini.

Berjalan di dalamnya, kita bisa melihat potret keluarga, ruang tamu yang elegan, hingga perabot antik yang masih terawat. Di dinding, terpampang foto-foto Tjong A Fie bersama tokoh-tokoh penting, seakan mengingatkan bahwa ia adalah bagian dari sejarah kota Medan.

Harmoni yang Dititipkan

Kisah Tjong A Fie bukan sekadar cerita tentang seorang perantau yang berhasil. Ia adalah pelajaran tentang harmoni, tentang pentingnya berbagi, tentang bagaimana seorang individu bisa menjadi jembatan antarbangsa.

Medan hari ini tumbuh sebagai kota multikultural. Dan di balik wajah modernnya, ada jejak seorang Tjong A Fie yang masih terasa—seorang filantropis yang mengajarkan bahwa keberagaman adalah kekuatan, bukan kelemahan.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama